Horas to my huta
DINASTI KERAJAAN BATAK-6
Gondang
Saparangguan (Seperangkat Gendang Batak), Pagar (Ramuan penangkal
penyakit), hujur sumba baho (tombak bertuah), piso solom Debata (pedang
bertuah), pungga Haomasan (Batu Gosok Emas), tintin Sipajadi-jadi
(Cincin Ajaib), tawar Sipagabang-abang, Sipagubung-ubung, Sipangolu na
Mate, Siparata Naung Busuk (Obat yang mampu menghidupkan yang sudah
mati, serta menyegarkan kembali yang telah busuk). Pagar, Hujur Sumba
Baho, Piso Solom Debata, Pungga Haomasan, Tintin Sipanjadi-jadi dan
Tawar, semua dibungkus dengan buku lak-lak atau buku Pustaha, yaitu Buku
Ilmu Pengetahuan tentang kebudayaan Batak, yang di tulis dengan aksara
Batak. Peti Batu tempat penyimpanan harta pusaka inilah yang disebut Batu Hobon (Peti Batu) karena Hobon artinya Peti.
Keanehannya : Sudah tiga kali orang berusaha untuk membuka Batu Hobon
ini namun ketiga-tiganya gagal, dan orang yang berusaha membuka itupun
serta merta mendapat bala dan meninggal dunia.
Pertama :
Pada zaman penjajahan Belanda, ada seorang pejabat Pemerintah Belanda
dari Pangururan, berusaha untuk membuka batu Hobon, dia berangkat
membawa dinamit dan peralatan lain, serta beberapa orang personil. Pada
saat mereka mempersiapkan alat-alat untuk meledakkan Batu Hobon itu
dengan tiba-tiba datanglah hujan panas yang sangat lebat, disertai angin
yang sangat kencang, serta petir dan guntur yang sambung menyambung,
dan tiba-tiba mereka melihat ditempat itu ada ular yang sangat besar dan
pada saat itu juga ada berkas cahaya (sinar) seperti tembakan sinar
laser dari langit tepat keatas Batu Hobon itu, maka orang Belanda itu
tiba-tiba pingsan, sehingga dia harus di tandu ke Pangururan, dan
setelah sampai Pangururan dia pun meninggal dunia.
Kedua :
Pada masa pemberotakan PRRI, ada seorang tentara yang berusaha untuk
membuka Batu Hobon ini, menembaki Batu Hobon itu dengan senapan, tetapi
sampai habis persediaan pelurunya Batu Hobon itu tidak mengalami
kerusakan apa-apa, bahkan si Tentara itu menjadi gila dan dia menjadi
ketakutan dia berjalan sambil berputar-putar, serta menembaki
sekelilingnya, walaupun peluru senapannya sudah kosong, dan tidak berapa
lama, si Tentara itupun meninggal dunia.
Ketiga :
Pernah juga ada orang yang tinggalnya di daerah Sumatera Timur,
berambisi untuk mengambil Harta Pusaka yang ada dalam Batu Hobon ini,
sehingga mereka berangkat kesana dengan beberapa orang personil, membawa
peralatan untuk membuka dan memecahkan batu. Mereka sempat membuka
tutup lapisan yang paling atas, tetapi dengan tiba-tiba mereka melihat
ular yang sangat besar di Batu Hobon itu sehingga mereka lari
terbirit-birit dan gagallah usaha mereka untuk membuka Batu Hobon itu
dan tidak berapa lama pimpinan rombongan itupun meninggal dunia dan
anggota rombongan itupun banyak yang mendapat bala.
Tutup Batu Hobon yang terbuka itu, sempat mengundang keresahan bagi
tokoh masyarakat Tapanuli Utara sehingga datanglah ratusan murid-murid
Perguruan HKI dari Tarutung yang dipimpin oleh Bapak Mangantar
Lumbantobing, untuk memasang kembali tutup Batu Hobon yang sempat
terbuka itu. Pada mulanya tutup batu itu tidak dapat diangkat, walaupun
telah ratusan orang sekaligus mengangkatnya, tetapi barulah setelah
diadakan Upacara memohon restu penghuni alam yang ada di tempat itu yang
dipimpin oleh salah seorang pengetua adat dari limbong, maka dengan
mudah, tutup batu itu dapat diangkat dan dipasang kembali ketempat
semula.
Demikianlah setelah Saribu Raja selesai memasukkan/menyimpan harta
Pusaka ke dalam Batu Hobon, maka berangkatlah dia bersama si Boru
Parese, mengembara ke hutan rimba raya hingga mereka sampai di Ulu Darat
dan disanalah si Boru Pareme tinggal, hingga lahir anaknya yang diberi
nama Raja Lontung.
Setelah si saribu Raja berangkat mengembara ke hutan rimba, maka abang
mereka pun yaitu Raja Uti (mempunyai kesaktian) dan karena kesaktiannya
terbang ke Pusuk Buhit dan dari Pusuk buhit terbang ke Barus dan Aceh,
demikian juga adik mereka yang paling bungsu yaitu si Lau Raja dia
berangkat ke sebelah timur menuju Pulau Samosir, demikian juga si Sagala
Raja di perkampungan disana yaitu daerah Negeri Sagala yang sekarang.
Pada mulanya Limbong Mulana juga ikut membuka perkampungan di daerah
Sianjur Mula-mula yang perkampungannya sekarang disebut Bagas Limbong,
tetapi kemudian Limbong Mulana meninggalkan daerah bagas Limbong, dia
kembali menempati daerah perkampungan orangtuanya yaitu daerah Parik
Sabungan, disanalah Limbong Mulana tinggal menetap, kemudian membuat
nama daerah itu daerah Limbong. Maka di negeri Limbong inilah tempat
semua yang kita sebut di atas, PITU HALONGANGAN, OPAT BATU TOLU AEK,
(Tujuh Keanehan, Empat Batu Tiga Air).
Yaitu :
1. Mual Ni Guru Tatea Bulan atau Aek Boras
2. Mual Ni Boru Pareme
3. Batu Parhusipan
4. Batu Pargasipan
5. Batu Nanggar
6. Batu Hobon
7. Mual Pansur Sipitu Dai
Mual Pansur Sipitu Dai (Pancuran Tujuh Rasa) adalah satu air dengan
tujuh buah pancuran yang masing-masing, pancuran mempunyai tujuh sumber
mata air, yang masing-masing mengalir sehingga bergabung menjadi satu
aliran dalam satu bak yang panjang, kemudian dari bak yang panjang itu
dibuat pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam pula seperti pada
sumber mata airnya padahal telah bergabung dalam bak yang panjang.
Air ini disebut "PANSUR SIPITU DAI" (Pansur Tujuh Rasa), karena pancuran
yang tujuh itu mempunyai tujuh macam rasa, ketujuh pancuran ini, dibagi
menurut status masyarakat yang ada di Limbong yaitu :
- Pansuran ni dakdanak yaitu tempat mandi bayi yang masih belum ada giginya
- Pancuran ni sibaso yaitu tempat mandi para ibu yang telah tua, yaitu yang tidak melahirkan lagi
- Pansuran ni ina-ina yaitu tempat mandi para ibu yang masih dapat melahirkan
- Pansur ni namarbaju yaitu tempat mandi gadis-gadis
- Pansur ni pangulu yaitu tempat mandi para raja-raja
- Pansur ni doli yaitu tempat mandi para lelaki
- Pansur Hela yaitu tempat mandi para menantu laki-laki yaitu semua marga yang mengawini putri marga Limbong
KEANEHANNYA :
- Dari tujuh macam rasa yang dari pancuran itu tidak ada satupun seperti rasa air biasa
- Tujuh macam rasa bersumber dari tujuh mata air telah bergabung dalam
satu Labuan (Bak Panjang) tetapi anehnya rasa air yang tujuh macam itu,
dapat terpisah kembali, sehingga rasa air yang mengalir melalui
pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam rasanya.
- Selama bergabung dalam labuan (bak panjang), rasa lainnya hanya satu
macam saja, walaupun sumbernya tujuh macam dan keluarnya tujuh macam
- Apabila air ini diambil dan dibawa ke tempat jauh dan tidak direstui
oleh penghuni alam yang ada di tempat itu, maka airnya akan menjadi
tawar seperti air biasa.
- Mandi di pancuran ini, dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
- Apabila ada orang jatuh saat
mandi di Pancuran ini, kalau pada saat jatuh kepalanya ke arah hulu,
maka ia akan jatuh sakit, tetapi kalau kepalanya ke arah hilir, maka ia
akan meninggal dunia.
- Di pancuran ini, orang dapat berdoa kepada Debata Mula Jadi Nabolon
(Tuhan Yang Mah Esa) memohon kesembuhan, memohon agar murah rejeki dan
memohon bermacam keinginan lainnya, dan ternyata sudah banyak orang yang
telah berhasil memperolehnya.
Pancur Tujuh Rasa adalah melambangkan angka sakti atau bilangan sakti,
karena bilangan tujuh itu adalah bilangan sakti dalam kehidupan ritual
bagi suku Batak, dan juga melambangkan beberapa macam keadaan suku
Batak.
Adapun berbagai macam keadaan yang dilambangkan Pancur Tujuh Rasa ini ialah :
1.
Menurut ahli perbintangan Batak, bahwa dunia ini beserta isinya, di
ciptakan oleh Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) dalam tujuh
hari yaitu mulai dari artia hingga samirasa yaitu hari pertama hingga
hari ke tujuh, menurut penanggalan Batak jumlah hari penciptaan yang
tujuh inilah yang merupakan dasar untuk dikembangkan menjadi nama-nama
hari yang tigapuluh untuk mengikuti peredaran bulan mengelilingi bumi
selama satu bulan. Jumlah hari yang tujuh itu, sama dengan jumlah hari
yang pergunakan kalender Internasional, yang lazim disebut dengan
istilah seminggu, namun perbedaan antara kalender Internasional dengan
kalender penanggalan Batak ialah : kalender Internasional berpedoman
kepada siang, yakni berdasarkan peredaran matahari, yang dimulai dari
tengah malam yaitu jam 0.00 sampai dengan yakni jam 0.00. Tetapi
penanggalan Batak berpedoman kepada malam yang berdasarkan peredaran
bulan yaitu dimulai dengan jam 18.00 (jam 6.00 menjelang malam) sampai
dengan jam 18.00.
Adapun nama-nama hari yang tujuh itu, kemudian dikembangkan menjadi tiga
puluh, mengikuti peredaran bulan dalam satu bulan, adalah sebagai
berikut :
Artia (hari pertama, senin), suma (hari kedua selasa), anggara (hari
ketiga rabu), muda (hari keempat kamis), boras pati (hari kelima Jumat),
singkora (hari keenam sabtu), samisara (hari ketujuh minggu), artian ni
aek, suma ni mangodap, anggara sampulu, muda ni mangodap, boraspati ni
tangkop, singkora purnama, samisara purnama, tula, suma ni holom,
anggara ni holom, nada ni holom, singkora mora turunan, samisara mora
turunan, artian ni angga, suma ni mate, anggara ni begu, muda ni mate,
boras pati na gok, singkora duduk, samisara bulan mate, hurung, ringkar.
Kalender Internasional menghitung hari 356 hari atau 12 bulan dalam
setahun, tetapi penanggalan batak menghitung hanya 355 hari atau 12
bulan namun sekali 3 (tiga) tahun, ada bulan ke-13 yang disebut bulan
lamadu.
Dalam kehidupan suku Batak ada ahli perbintangan yang namanya disebut
"Datu Siboto Ari". Datu Siboto Ari ini dapat mengetahui dan menentukan,
hari yang baik, hari yang sial, hari yang naas, hari yang subur dan
hari-hari lainnya. Datu Siboto Ari (ahli perbintangan Orang Batak) yang
dapat mengetahui dan menentukan mana hari baik dan mana hari sial,
bukanlah ilmu ramal-meramal tetapi sesuai dengan ilmu pengetahuan yang
mereka kuasai maka mereka dapat membaca dan mengartikan situasi yang
akan terjadi pada saat-saat tertentu, atau hari-hari tertentu sesuai
dengan pengaruh dan hubungan letak dan posisi bulan pada garis edarnya
dan akibatnya terhadap manusia.
Jadi jelaslah bahwa ilmu perbintangan Batak itu bukanlah ilmu ramal
meramal, melainkan adalah ilmu pengetahuan alam atau ilmu hukum alam.
Menurut ilmu perbintangan batak bahwa manusia itu sangat erat kaintannya
dengan alam semensta, sehingga letak dan posisi bulan pada garis
edarnya, ini sangat berpengaruh dan mempunyai akibat tertentu, terhadap
kehidupan manusia maka oleh karena itu untuk mengerjakan suatu pekerjaan
tertentu, harus dipilih hari yang baik. Para Datu Siboto Ari (Ahli
Perbintangan Batak), pada umumnya mereka menuliskan ilmu pengetahuan
perbintangan itu pada sepotong bambu yang disebut "Bulu Parhalaan".
Didalam bulu parhalaan ini dituliskan daftar hari baik dan hari sial
serta hari-hari lainnya, sesuai dengan pengaruh dan akibat letak posisi
bulan pada garis edarnya terhadap manusia yang berhubungan dengan bentuk
pekerjaan yang akan dikerjakan dan juga disesuaikan dengan tingkatan
status orang yang akan mengerjakan pekerjaan itu. Hanya sayang Bulu
parhalaan itu, sangat sederhana sekali, jadi masih memerlukan usaha kita
sekarang untuk menyempurnakannya, sehingga menjadi ilmu yang sangat
bermanfaat luas dalam kehidupan manusia.
2.
Pansur Sipitu Dai (Pancur Tujuh Rasa) juga melambangkan bahwa penguasa
Alam Semesta, bersemayam pada tingkatan langit yang Ketujuh, dan pada
lapisan awan yang ketujuh. Hal ini dapat kita lihat dalam Tonggo-tonggo
si Raja Batak (Doa Siraja Batak) sewaktu si Raja Batak mengadakan
upacara persembahan menyembah Debata Mulajadi Na Bolon di Puncak Dolok
Pusuk Buhit, dengan Tonggo-tonggo (Doa sebagai berikut) :
"Hutonggo hupio hupangalu alui ma hamu ompung, Debata Mula Jadi Nabolon,
dohot tamu ompung Debata Natolu, natolu suhu natolu harajaon,
namanggomgomi langit dohot tano, dohot jolma manisia". (Aku berdoa,
menyebutkan dan berseru padamu Tuhan, Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan
dengan Tiga nama Tuhan dengan kekuasaan, tiga kerajaan, yang menguasai
langit bumi serta segenap isinya).
Mula ni dungdang mula ni sahala, Siutung-untung nabolon, silaeng laeng
mandi, Siraja inda-inda, siraja indapati. (Awal dari "dungdang" awal
dari kharisma, Siuntung-untung na bolon, burung layang-layang, Siraja
inda-inda, Siraja idapati).
Napajungjung pinggan, dihos ni mataniari, Nahinsa-hinsa suruon, nagirgir
mangalapi, nasintak sumunde-sunde, nauja manotari, siboto unung-unung,
nauja manangi-nangi. (Yang menjingjing piring di tengah teriknya
matahari, yang gampang disuruh, dan mudah jemput, yang maha tau apa yang
dibicarakan, serta yang peka).
Napabuka-buka pintu, napadung-dang dungdang ari, napasorop-sorop ombun,
di gorjok-gorjok ni ari, parambe-rambe nasumurung, sitapi manjalahi,
napatorus-torus somba, tu ompunta Mulajadi. (Yang membuka pintu, yang
menentukan hari, yang meneduhkan hari, diatas teriknya panas mata hari,
menenangkan yang panas hati, dan menunjukkan jalan yang baik, yang
meneruskan doa kepada Tuhan).
Tuat ma hamu ompung, sian ginjang ni ginjangan, sian langit ni langitan,
sian toding banua ginjang, sian langit na pitu tingka, sianombun na
pitu lampis, sian bintang na marjombut, tu lape-lape bulu duri, sian
mual situdu langit, tu gala-gala napul-pulan, hariara sangka mandeha,
baringin tumbur jati, disi do partungkoan ni ompunta Mulajadi.
(Datanglah Engkau ya Tuhan, dari tempat yang Maha Tinggi dari atas
langit, serta alam semesta. Dari langit yang ketujuh dan dari awan yang
ketujuh lapis, "sian bintang najorbut, tu lape-lape bulu duri". Dari
mata air menuju langit, tu gala-gala napulpulan. Hariara sangka mendeha,
baringin tumbur jati, disitulah bersemayam, Allah Bapak maha Pencipta
langit dan bumi).
Jadi dalam tonggo-tonggo ini, jelas kita mengetahui bahwa Allah Pencipta alam, bersemayam di langit yang ke tujuh.
3. Pansur si Pitu Dai (Pancuran tujuh rasa), juga melambangkan bahwa
ramuan obat-obatan tradisionil Batak, banyak yang harus bersyarat tujuh
misalnya : harus tujuh macam, harus tujuh kali, harus tujuh buah, harus
tujuh lembar, atau harus tujuh potong.
4. Pansur sipitu Dai (Pancur tujuh rasa), juga melambangkan tata tertib
acara margondang (acara Gendang Batak). Pada acara margondang, acara
harus dimulai dengan Gondang si Pitu Ombas (tujuh buah irama lagu
Gendang dimainkan secara non stop tanpa di ikuti dengan tarian). Setelah
gendang sipitu Ombas selesai, maka dimulailah acara menari, tetapi
acara ini, harus dimulai dengan "Pitu Hali Mangaliat" (Arak-arakan tujuh
kali keliling lapangan menari) dan untuk menutupi acara margondang ini,
harus dimulai dengan acara Pitu hali mangaliat.
5. Pansur Sipitu Dai (Pancuran tujuh rasa) juga melambangkan
"partuturan" (panggilan) dalam stuktur atau susunan Tarombo (silsilah)
karena hanya tujuh Generasi yang mempunyai Partuturan (panggilan) dalam
satu garis keturunan yaitu :
1. Ompu : Nenek moyang yaitu semua genarasi mulai dari tiga generasi diatas kita.
2. Ompung : Kakek, yaitu orang yang dua generasi diatas kita
3. Amang : Ayah, yaitu yang satu generasi diatas kita
4. Haha Anggi : Abang Adik yaitu orang yang segenerasi dengan kita
5. Anak : Anak yaitu orang yang saatu generasi di bawah kita
6. Pahompu : Cucu, yaitu orang yang dua generasi di bawah kita.
7. Nini : Cicit yitu orang yang mulai tiga generasi di bawah kita.
6. Pansur Sipitu Dai (Pancur Tujuh rasa juga melambangkan bahwa dari
sepuluh orang keturunan Guru Tatea Bulan, hanya tujuh orang yang
mempunyai keturunan langsung, karena tiga orang dari mereka menjadi
orang sakti :.
Adapun orang yang menjadi sakti ialah :
1. Raja Uti Sakti dan tinggal di udara, di darat dan di laut.
2. Boru Biding laut (boru Tunghau), sakti dan tinggal di hutan atau darat
3. Nan tinjo Sakti dan tinggal di Danau Toba atau laut.
Adapun yang mempunyai keturunan langsung sebanyak tujuh orang yaitu :
1. Saribu Raja
2. Limbong Mulana
3. Sagala Raja
4. Silau Raja
5. Boru Pareme
6. Bunga Haomasan
7. Anting Haomasan
Nama yang tujuh ini di gabung menjadi satu ikatan yang dinamakan "Sipitu
Tali' (tujuh satu ikatan), dan nama yang tujuh ini jugalah yang menjadi
pedoman untuk pembagian negeri limbong menjadi Pitu Turpuk (tujuh
daerah perkampungan), kemudian sipitu tali atau sipitu turpuk ini juga
yang menjadi dasar tata pelaksanaan hukum adat di negeri limbong, baik
secara pribadi, maupun secara kelompok.
Pemerintahan Limbong dilaksanakan oleh kumpulan dari utusan dari tiap
kelompok atau turpuk, yang disebut dengan nama Raja Bius (Raja Wilayah)
atau dengan istilah Raja Ni Sipitu Tali. Demikian juga dalam acara
kebudayaan ritual, misalnya mengadakan pesta Horbo Bius atau horbo
lae-lae, maka raja Bius atau raja ni Sipitu tali inilah yang paling
banyak berperan dengan raja-raja yang lain yaitu :
'Jonggi Manaor" dari turpuk Sidauruk
"Raja Sori" dari turpuk Borsak Nilaingan
"Raja Paradum" dari turpuk Nasiapulu
"Manontang Laut" dari turpuk Sihole
"Raja Paor" dari turpuk habeahan
Bersamaan dengan itu, lahirlah Sisingamangaraja dari marga Sinambela dan
juga Palti Raja dari marga Sinaga. Kesaktian Jonggi Mahaor ialah Batara
Guru Doli bertempat tinggal di Limbong. Kesaktian Sisingamangaraja
ialah dari Bala Sori bertempat tinggal di Bakkara, dan kesaktian Palti
Raja ialah Bane Bulan bertempat tinggal di Palipi.
Jonggi Manaor beserta dan Raja Sori, Raja Paradum, Manontang Laut dan
Raja Paor, mereka inilah pelaksana utama dalam upacara "Hoda Somba"
yaitu upacara persembahan, mempersembahkan kuda kepada Debata Mulajadi
Na Bolon (Tuhan Yang Maha Esa). Kuda ini dipersembahkan melalui
perantaraan Raja Uti, "Raja Hatorusan natorus marpangidoan tu Debata"
(yang biasa atau yang bisa langsung bermohon kepada Tuhan Yang Maha
Esa). Upacara Hoda Somba ini diadakan terutama kalau terjadi kemarau
panjang di seluruh wilayah Samosir.
Maka Hoda Somba (Kuda Persembahan) disediakan oleh keturunan Lontung
dari Samosir, kemudian kuda ini diantarkan ke Limbong yang Upacara
penyerahan ini dipimpin oleh marga Situmorang, kemudian di Limbong
diadakan upacara memohon turunnya hujan mereka pergi ke Simanggurguri
dengan membawa seperangkat Gendang di Simanggurguri Jonggi Manaor
Martonggo (berdoa) memohon turunnya Hujan, dan pada saat itu juga pasti
datang hujan sehingga semua peserta upacara itu harus basah kuyup di
Limbong di Guyur air Hujan.
Hoda Somba (Kuda Persembahan) ini dipotong kemudian dikuliti, semua
dagingnya dibagi dan dimakan menurut tata cara hak (Parjambaron)menurut
status dan kelompok masing-masing kepada semua peserta upacara. Hoda
Somba (Kuda Persembahan).
Kemudian kulit Kuda itu, diantarkan kepada Raja Uti di Barus dan yang
mengatarkannya ialah Jonggi Manaor, Raja Sori, Raja Paradum, Manontang
Laut dan Raja Paon, mereka berjalan kaki dari negeri Limbong melewati
Hutan belantara menuju Barus.
Tetapi ... setelah mereka berjumpa dengan Raja Uti di Barus, kulit Kuda
yang mereka bawa dari Limbong itu menjelma menjadi Kuda yang hidup
sebagaimana Kuda itu sebelum dipotong.
Pansur Sipitu Dai (Pancuran tujuh rasa) ini juga mempunyai kisah
tersendiri dari si Boru Pareme, karena di Pansur Sipitu dai inilah si
Raja Lontung bertemu dengan si Boru Pareme, yang kemudian mereka kawin.
Hingga sekarang, apabila ada orang yang kesurupan si Boru Pareme, maka
orang itu selalu meminta manortor (Menari) di Pansur Sipitu Dai. Siboru
Pareme dengan Raja Lontung mempunyai 7 (tujuh) keturunan yaitu : Sinaga,
Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar.
Dari anak Lontung yang tujuh orang ini, anak yang paling bungsu yaitu
Marga "Siregar", adalah menantu kesayangan bagi marga Limbong. Hal itu
dapat dibuktikan kalau pansur Ni Hela salah satu Pancuran dari yang
tujuh yang di khususkan untuk tempat mandi semua menantu (yang mengawani
putri Limbong), kalau pansur Hela ini rusak, maka hanya marga
Siregarlah yang berkewajiban dan berhak untuk memperbaiki Pancuran itu.
Bersambung...