on Senin, 24 September 2012

Horas to my huta


Ue Rohaku, Pos Ma Ho Tontong

Lungun namanontong
Roha na sai tarnonong
Mata tardok simalolong
Alai dang marnida atik pe mamereng

Da tungki rohakki nasalaon
Tarpaima di hamumuba ni sinaadong
Tarlobi songon pangareap ni pidong
Sipata olo sai mordong-ordong

Haposoon targoar dihagogoon nibotohon
Alai magale do pe disihaadongon
Tardingkan dia ma ahu manondong
Asa sai unang lalap disihadongolon

Ue parhusor ni partingkian
Alusi ahu naposo nasai lalap monsong-onsong
Manungkuni parro dohot parlao ni alogo halisunsung
Pataridama hinauli halibutongan
Asa sai unang rohakku sai malungun

Ugari natarbahen songon pandok ni roha-roha
Di nasa gogo pikkiran sadalan ula-ula
Da gira malua ahu sian gongoman ni pandelean

Ugari targombar ari sogot haduan
Disihalelengan ni nasalelongon on
Da tupa uli ma parniahapan

Alai dao do pe dalan ni sibaran
Da pandelean nasai jotjot manosak pangkilalan
Tung so jadi ahu tarmarsak

Pos do rohakku di tingki ni pardalanan
Tupa uli di tingkina so pola so jolo panagaman


Horas to my huta


Ue Rohaku, Pos Ma Ho Tontong

Lungun namanontong
Roha na sai tarnonong
Mata tardok simalolong
Alai dang marnida atik pe mamereng

Da tungki rohakki nasalaon
Tarpaima di hamumuba ni sinaadong
Tarlobi songon pangareap ni pidong
Sipata olo sai mordong-ordong

Haposoon targoar dihagogoon nibotohon
Alai magale do pe disihaadongon
Tardingkan dia ma ahu manondong
Asa sai unang lalap disihadongolon

Ue parhusor ni partingkian
Alusi ahu naposo nasai lalap monsong-onsong
Manungkuni parro dohot parlao ni alogo halisunsung
Pataridama hinauli halibutongan
Asa sai unang rohakku sai malungun

Ugari natarbahen songon pandok ni roha-roha
Di nasa gogo pikkiran sadalan ula-ula
Da gira malua ahu sian gongoman ni pandelean

Ugari targombar ari sogot haduan
Disihalelengan ni nasalelongon on
Da tupa uli ma parniahapan

Alai dao do pe dalan ni sibaran
Da pandelean nasai jotjot manosak pangkilalan
Tung so jadi ahu tarmarsak

Pos do rohakku di tingki ni pardalanan
Tupa uli di tingkina so pola so jolo panagaman


on Selasa, 17 Juli 2012

Horas to my huta

DINASTI KERAJAAN BATAK-6


Kisah Tujuh Keajaiban, Empat Batu dan Tiga Air (Pitu Halongangan Opat Batu Tolu Aek)


Gondang Saparangguan (Seperangkat Gendang Batak), Pagar (Ramuan penangkal penyakit), hujur sumba baho (tombak bertuah), piso solom Debata (pedang bertuah), pungga Haomasan (Batu Gosok Emas), tintin Sipajadi-jadi (Cincin Ajaib), tawar Sipagabang-abang, Sipagubung-ubung, Sipangolu na Mate, Siparata Naung Busuk (Obat yang mampu menghidupkan yang sudah mati, serta menyegarkan kembali yang telah busuk). Pagar, Hujur Sumba Baho, Piso Solom Debata, Pungga Haomasan, Tintin Sipanjadi-jadi dan Tawar, semua dibungkus dengan buku lak-lak atau buku Pustaha, yaitu Buku Ilmu Pengetahuan tentang kebudayaan Batak, yang di tulis dengan aksara Batak. Peti Batu tempat penyimpanan harta pusaka inilah yang disebut Batu Hobon (Peti Batu) karena Hobon artinya Peti.

Keanehannya : Sudah tiga kali orang berusaha untuk membuka Batu Hobon ini namun ketiga-tiganya gagal, dan orang yang berusaha membuka itupun serta merta mendapat bala dan meninggal dunia.

Pertama :
Pada zaman penjajahan Belanda, ada seorang pejabat Pemerintah Belanda dari Pangururan, berusaha untuk membuka batu Hobon, dia berangkat membawa dinamit dan peralatan lain, serta beberapa orang personil. Pada saat mereka mempersiapkan alat-alat untuk meledakkan Batu Hobon itu dengan tiba-tiba datanglah hujan panas yang sangat lebat, disertai angin yang sangat kencang, serta petir dan guntur yang sambung menyambung, dan tiba-tiba mereka melihat ditempat itu ada ular yang sangat besar dan pada saat itu juga ada berkas cahaya (sinar) seperti tembakan sinar laser dari langit tepat keatas Batu Hobon itu, maka orang Belanda itu tiba-tiba pingsan, sehingga dia harus di tandu ke Pangururan, dan setelah sampai Pangururan dia pun meninggal dunia.

Kedua :
Pada masa pemberotakan PRRI, ada seorang tentara yang berusaha untuk membuka Batu Hobon ini, menembaki Batu Hobon itu dengan senapan, tetapi sampai habis persediaan pelurunya Batu Hobon itu tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan si Tentara itu menjadi gila dan dia menjadi ketakutan dia berjalan sambil berputar-putar, serta menembaki sekelilingnya, walaupun peluru senapannya sudah kosong, dan tidak berapa lama, si Tentara itupun meninggal dunia.

Ketiga :
Pernah juga ada orang yang tinggalnya di daerah Sumatera Timur, berambisi untuk mengambil Harta Pusaka yang ada dalam Batu Hobon ini, sehingga mereka berangkat kesana dengan beberapa orang personil, membawa peralatan untuk membuka dan memecahkan batu. Mereka sempat membuka tutup lapisan yang paling atas, tetapi dengan tiba-tiba mereka melihat ular yang sangat besar di Batu Hobon itu sehingga mereka lari terbirit-birit dan gagallah usaha mereka untuk membuka Batu Hobon itu dan tidak berapa lama pimpinan rombongan itupun meninggal dunia dan anggota rombongan itupun banyak yang mendapat bala.

Tutup Batu Hobon yang terbuka itu, sempat mengundang keresahan bagi tokoh masyarakat Tapanuli Utara sehingga datanglah ratusan murid-murid Perguruan HKI dari Tarutung yang dipimpin oleh Bapak Mangantar Lumbantobing, untuk memasang kembali tutup Batu Hobon yang sempat terbuka itu. Pada mulanya tutup batu itu tidak dapat diangkat, walaupun telah ratusan orang sekaligus mengangkatnya, tetapi barulah setelah diadakan Upacara memohon restu penghuni alam yang ada di tempat itu yang dipimpin oleh salah seorang pengetua adat dari limbong, maka dengan mudah, tutup batu itu dapat diangkat dan dipasang kembali ketempat semula.

Demikianlah setelah Saribu Raja selesai memasukkan/menyimpan harta Pusaka ke dalam Batu Hobon, maka berangkatlah dia bersama si Boru Parese, mengembara ke hutan rimba raya hingga mereka sampai di Ulu Darat dan disanalah si Boru Pareme tinggal, hingga lahir anaknya yang diberi nama Raja Lontung.

Setelah si saribu Raja berangkat mengembara ke hutan rimba, maka abang mereka pun yaitu Raja Uti (mempunyai kesaktian) dan karena kesaktiannya terbang ke Pusuk Buhit dan dari Pusuk buhit terbang ke Barus dan Aceh, demikian juga adik mereka yang paling bungsu yaitu si Lau Raja dia berangkat ke sebelah timur menuju Pulau Samosir, demikian juga si Sagala Raja di perkampungan disana yaitu daerah Negeri Sagala yang sekarang.

Pada mulanya Limbong Mulana juga ikut membuka perkampungan di daerah Sianjur Mula-mula yang perkampungannya sekarang disebut Bagas Limbong, tetapi kemudian Limbong Mulana meninggalkan daerah bagas Limbong, dia kembali menempati daerah perkampungan orangtuanya yaitu daerah Parik Sabungan, disanalah Limbong Mulana tinggal menetap, kemudian membuat nama daerah itu daerah Limbong. Maka di negeri Limbong inilah tempat semua yang kita sebut di atas, PITU HALONGANGAN, OPAT BATU TOLU AEK, (Tujuh Keanehan, Empat Batu Tiga Air).

Yaitu :
1. Mual Ni Guru Tatea Bulan atau Aek Boras
2. Mual Ni Boru Pareme
3. Batu Parhusipan
4. Batu Pargasipan
5. Batu Nanggar
6. Batu Hobon
7. Mual Pansur Sipitu Dai

Mual Pansur Sipitu Dai (Pancuran Tujuh Rasa) adalah satu air dengan tujuh buah pancuran yang masing-masing, pancuran mempunyai tujuh sumber mata air, yang masing-masing mengalir sehingga bergabung menjadi satu aliran dalam satu bak yang panjang, kemudian dari bak yang panjang itu dibuat pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam pula seperti pada sumber mata airnya padahal telah bergabung dalam bak yang panjang.

Air ini disebut "PANSUR SIPITU DAI" (Pansur Tujuh Rasa), karena pancuran yang tujuh itu mempunyai tujuh macam rasa, ketujuh pancuran ini, dibagi menurut status masyarakat yang ada di Limbong yaitu :
  1. Pansuran ni dakdanak yaitu tempat mandi bayi yang masih belum ada giginya
  2. Pancuran ni sibaso yaitu tempat mandi para ibu yang telah tua, yaitu yang tidak melahirkan lagi
  3. Pansuran ni ina-ina yaitu tempat mandi para ibu yang masih dapat melahirkan
  4. Pansur ni namarbaju yaitu tempat mandi gadis-gadis
  5. Pansur ni pangulu yaitu tempat mandi para raja-raja
  6. Pansur ni doli yaitu tempat mandi para lelaki
  7. Pansur Hela yaitu tempat mandi para menantu laki-laki yaitu semua marga yang mengawini putri marga Limbong

KEANEHANNYA :
  1. Dari tujuh macam rasa yang dari pancuran itu tidak ada satupun seperti rasa air biasa
  2. Tujuh macam rasa bersumber dari tujuh mata air telah bergabung dalam satu Labuan (Bak Panjang) tetapi anehnya rasa air yang tujuh macam itu, dapat terpisah kembali, sehingga rasa air yang mengalir melalui pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam rasanya.
  3. Selama bergabung dalam labuan (bak panjang), rasa lainnya hanya satu macam saja, walaupun sumbernya tujuh macam dan keluarnya tujuh macam
  4. Apabila air ini diambil dan dibawa ke tempat jauh dan tidak direstui oleh penghuni alam yang ada di tempat itu, maka airnya akan menjadi tawar seperti air biasa.
  5. Mandi di pancuran ini, dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
  6. Apabila ada orang jatuh saat mandi di Pancuran ini, kalau pada saat jatuh kepalanya ke arah hulu, maka ia akan jatuh sakit, tetapi kalau kepalanya ke arah hilir, maka ia akan meninggal dunia.
  7. Di pancuran ini, orang dapat berdoa kepada Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Mah Esa) memohon kesembuhan, memohon agar murah rejeki dan memohon bermacam keinginan lainnya, dan ternyata sudah banyak orang yang telah berhasil memperolehnya.

Pancur Tujuh Rasa adalah melambangkan angka sakti atau bilangan sakti, karena bilangan tujuh itu adalah bilangan sakti dalam kehidupan ritual bagi suku Batak, dan juga melambangkan beberapa macam keadaan suku Batak.

Adapun berbagai macam keadaan yang dilambangkan Pancur Tujuh Rasa ini ialah :
 
 
1. Menurut ahli perbintangan Batak, bahwa dunia ini beserta isinya, di ciptakan oleh Debata Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) dalam tujuh hari yaitu mulai dari artia hingga samirasa yaitu hari pertama hingga hari ke tujuh, menurut penanggalan Batak jumlah hari penciptaan yang tujuh inilah yang merupakan dasar untuk dikembangkan menjadi nama-nama hari yang tigapuluh untuk mengikuti peredaran bulan mengelilingi bumi selama satu bulan. Jumlah hari yang tujuh itu, sama dengan jumlah hari yang pergunakan kalender Internasional, yang lazim disebut dengan istilah seminggu, namun perbedaan antara kalender Internasional dengan kalender penanggalan Batak ialah : kalender Internasional berpedoman kepada siang, yakni berdasarkan peredaran matahari, yang dimulai dari tengah malam yaitu jam 0.00 sampai dengan yakni jam 0.00. Tetapi penanggalan Batak berpedoman kepada malam yang berdasarkan peredaran bulan yaitu dimulai dengan jam 18.00 (jam 6.00 menjelang malam) sampai dengan jam 18.00.
Adapun nama-nama hari yang tujuh itu, kemudian dikembangkan menjadi tiga puluh, mengikuti peredaran bulan dalam satu bulan, adalah sebagai berikut :
Artia (hari pertama, senin), suma (hari kedua selasa), anggara (hari ketiga rabu), muda (hari keempat kamis), boras pati (hari kelima Jumat), singkora (hari keenam sabtu), samisara (hari ketujuh minggu), artian ni aek, suma ni mangodap, anggara sampulu, muda ni mangodap, boraspati ni tangkop, singkora purnama, samisara purnama, tula, suma ni holom, anggara ni holom, nada ni holom, singkora mora turunan, samisara mora turunan, artian ni angga, suma ni mate, anggara ni begu, muda ni mate, boras pati na gok, singkora duduk, samisara bulan mate, hurung, ringkar.

Kalender Internasional menghitung hari 356 hari atau 12 bulan dalam setahun, tetapi penanggalan batak menghitung hanya 355 hari atau 12 bulan namun sekali 3 (tiga) tahun, ada bulan ke-13 yang disebut bulan lamadu.
Dalam kehidupan suku Batak ada ahli perbintangan yang namanya disebut "Datu Siboto Ari". Datu Siboto Ari ini dapat mengetahui dan menentukan, hari yang baik, hari yang sial, hari yang naas, hari yang subur dan hari-hari lainnya. Datu Siboto Ari (ahli perbintangan Orang Batak) yang dapat mengetahui dan menentukan mana hari baik dan mana hari sial, bukanlah ilmu ramal-meramal tetapi sesuai dengan ilmu pengetahuan yang mereka kuasai maka mereka dapat membaca dan mengartikan situasi yang akan terjadi pada saat-saat tertentu, atau hari-hari tertentu sesuai dengan pengaruh dan hubungan letak dan posisi bulan pada garis edarnya dan akibatnya terhadap manusia.

Jadi jelaslah bahwa ilmu perbintangan Batak itu bukanlah ilmu ramal meramal, melainkan adalah ilmu pengetahuan alam atau ilmu hukum alam. Menurut ilmu perbintangan batak bahwa manusia itu sangat erat kaintannya dengan alam semensta, sehingga letak dan posisi bulan pada garis edarnya, ini sangat berpengaruh dan mempunyai akibat tertentu, terhadap kehidupan manusia maka oleh karena itu untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu, harus dipilih hari yang baik. Para Datu Siboto Ari (Ahli Perbintangan Batak), pada umumnya mereka menuliskan ilmu pengetahuan perbintangan itu pada sepotong bambu yang disebut "Bulu Parhalaan".

Didalam bulu parhalaan ini dituliskan daftar hari baik dan hari sial serta hari-hari lainnya, sesuai dengan pengaruh dan akibat letak posisi bulan pada garis edarnya terhadap manusia yang berhubungan dengan bentuk pekerjaan yang akan dikerjakan dan juga disesuaikan dengan tingkatan status orang yang akan mengerjakan pekerjaan itu. Hanya sayang Bulu parhalaan itu, sangat sederhana sekali, jadi masih memerlukan usaha kita sekarang untuk menyempurnakannya, sehingga menjadi ilmu yang sangat bermanfaat luas dalam kehidupan manusia. 
 
2. Pansur Sipitu Dai (Pancur Tujuh Rasa) juga melambangkan bahwa penguasa Alam Semesta, bersemayam pada tingkatan langit yang Ketujuh, dan pada lapisan awan yang ketujuh. Hal ini dapat kita lihat dalam Tonggo-tonggo si Raja Batak (Doa Siraja Batak) sewaktu si Raja Batak mengadakan upacara persembahan menyembah Debata Mulajadi Na Bolon di Puncak Dolok Pusuk Buhit, dengan Tonggo-tonggo (Doa sebagai berikut) :
"Hutonggo hupio hupangalu alui ma hamu ompung, Debata Mula Jadi Nabolon, dohot tamu ompung Debata Natolu, natolu suhu natolu harajaon, namanggomgomi langit dohot tano, dohot jolma manisia". (Aku berdoa, menyebutkan dan berseru padamu Tuhan, Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan dengan Tiga nama Tuhan dengan kekuasaan, tiga kerajaan, yang menguasai langit bumi serta segenap isinya).

Mula ni dungdang mula ni sahala, Siutung-untung nabolon, silaeng laeng mandi, Siraja inda-inda, siraja indapati. (Awal dari "dungdang" awal dari kharisma, Siuntung-untung na bolon, burung layang-layang, Siraja inda-inda, Siraja idapati).

Napajungjung pinggan, dihos ni mataniari, Nahinsa-hinsa suruon, nagirgir mangalapi, nasintak sumunde-sunde, nauja manotari, siboto unung-unung, nauja manangi-nangi. (Yang menjingjing piring di tengah teriknya matahari, yang gampang disuruh, dan mudah jemput, yang maha tau apa yang dibicarakan, serta yang peka).

Napabuka-buka pintu, napadung-dang dungdang ari, napasorop-sorop ombun, di gorjok-gorjok ni ari, parambe-rambe nasumurung, sitapi manjalahi, napatorus-torus somba, tu ompunta Mulajadi. (Yang membuka pintu, yang menentukan hari, yang meneduhkan hari, diatas teriknya panas mata hari, menenangkan yang panas hati, dan menunjukkan jalan yang baik, yang meneruskan doa kepada Tuhan).

Tuat ma hamu ompung, sian ginjang ni ginjangan, sian langit ni langitan, sian toding banua ginjang, sian langit na pitu tingka, sianombun na pitu lampis, sian bintang na marjombut, tu lape-lape bulu duri, sian mual situdu langit, tu gala-gala napul-pulan, hariara sangka mandeha, baringin tumbur jati, disi do partungkoan ni ompunta Mulajadi. (Datanglah Engkau ya Tuhan, dari tempat yang Maha Tinggi dari atas langit, serta alam semesta. Dari langit yang ketujuh dan dari awan yang ketujuh lapis, "sian bintang najorbut, tu lape-lape bulu duri". Dari mata air menuju langit, tu gala-gala napulpulan. Hariara sangka mendeha, baringin tumbur jati, disitulah bersemayam, Allah Bapak maha Pencipta langit dan bumi).

Jadi dalam tonggo-tonggo ini, jelas kita mengetahui bahwa Allah Pencipta alam, bersemayam di langit yang ke tujuh.

3. Pansur si Pitu Dai (Pancuran tujuh rasa), juga melambangkan bahwa ramuan obat-obatan tradisionil Batak, banyak yang harus bersyarat tujuh misalnya : harus tujuh macam, harus tujuh kali, harus tujuh buah, harus tujuh lembar, atau harus tujuh potong.

4. Pansur sipitu Dai (Pancur tujuh rasa), juga melambangkan tata tertib acara margondang (acara Gendang Batak). Pada acara margondang, acara harus dimulai dengan Gondang si Pitu Ombas (tujuh buah irama lagu Gendang dimainkan secara non stop tanpa di ikuti dengan tarian). Setelah gendang sipitu Ombas selesai, maka dimulailah acara menari, tetapi acara ini, harus dimulai dengan "Pitu Hali Mangaliat" (Arak-arakan tujuh kali keliling lapangan menari) dan untuk menutupi acara margondang ini, harus dimulai dengan acara Pitu hali mangaliat.

5. Pansur Sipitu Dai (Pancuran tujuh rasa) juga melambangkan "partuturan" (panggilan) dalam stuktur atau susunan Tarombo (silsilah) karena hanya tujuh Generasi yang mempunyai Partuturan (panggilan) dalam satu garis keturunan yaitu :
1. Ompu : Nenek moyang yaitu semua genarasi mulai dari tiga generasi diatas kita.
2. Ompung : Kakek, yaitu orang yang dua generasi diatas kita
3. Amang : Ayah, yaitu yang satu generasi diatas kita
4. Haha Anggi : Abang Adik yaitu orang yang segenerasi dengan kita
5. Anak : Anak yaitu orang yang saatu generasi di bawah kita
6. Pahompu : Cucu, yaitu orang yang dua generasi di bawah kita.
7. Nini : Cicit yitu orang yang mulai tiga generasi di bawah kita.

6. Pansur Sipitu Dai (Pancur Tujuh rasa juga melambangkan bahwa dari sepuluh orang keturunan Guru Tatea Bulan, hanya tujuh orang yang mempunyai keturunan langsung, karena tiga orang dari mereka menjadi orang sakti :.

Adapun orang yang menjadi sakti ialah :
1. Raja Uti Sakti dan tinggal di udara, di darat dan di laut.
2. Boru Biding laut (boru Tunghau), sakti dan tinggal di hutan atau darat
3. Nan tinjo Sakti dan tinggal di Danau Toba atau laut.

Adapun yang mempunyai keturunan langsung sebanyak tujuh orang yaitu :
1. Saribu Raja
2. Limbong Mulana
3. Sagala Raja
4. Silau Raja
5. Boru Pareme
6. Bunga Haomasan
7. Anting Haomasan

Nama yang tujuh ini di gabung menjadi satu ikatan yang dinamakan "Sipitu Tali' (tujuh satu ikatan), dan nama yang tujuh ini jugalah yang menjadi pedoman untuk pembagian negeri limbong menjadi Pitu Turpuk (tujuh daerah perkampungan), kemudian sipitu tali atau sipitu turpuk ini juga yang menjadi dasar tata pelaksanaan hukum adat di negeri limbong, baik secara pribadi, maupun secara kelompok.

Pemerintahan Limbong dilaksanakan oleh kumpulan dari utusan dari tiap kelompok atau turpuk, yang disebut dengan nama Raja Bius (Raja Wilayah) atau dengan istilah Raja Ni Sipitu Tali. Demikian juga dalam acara kebudayaan ritual, misalnya mengadakan pesta Horbo Bius atau horbo lae-lae, maka raja Bius atau raja ni Sipitu tali inilah yang paling banyak berperan dengan raja-raja yang lain yaitu :

'Jonggi Manaor" dari turpuk Sidauruk
"Raja Sori" dari turpuk Borsak Nilaingan
"Raja Paradum" dari turpuk Nasiapulu
"Manontang Laut" dari turpuk Sihole
"Raja Paor" dari turpuk habeahan

Bersamaan dengan itu, lahirlah Sisingamangaraja dari marga Sinambela dan juga Palti Raja dari marga Sinaga. Kesaktian Jonggi Mahaor ialah Batara Guru Doli bertempat tinggal di Limbong. Kesaktian Sisingamangaraja ialah dari Bala Sori bertempat tinggal di Bakkara, dan kesaktian Palti Raja ialah Bane Bulan bertempat tinggal di Palipi.

Jonggi Manaor beserta dan Raja Sori, Raja Paradum, Manontang Laut dan Raja Paor, mereka inilah pelaksana utama dalam upacara "Hoda Somba" yaitu upacara persembahan, mempersembahkan kuda kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan Yang Maha Esa). Kuda ini dipersembahkan melalui perantaraan Raja Uti, "Raja Hatorusan natorus marpangidoan tu Debata" (yang biasa atau yang bisa langsung bermohon kepada Tuhan Yang Maha Esa). Upacara Hoda Somba ini diadakan terutama kalau terjadi kemarau panjang di seluruh wilayah Samosir.

Maka Hoda Somba (Kuda Persembahan) disediakan oleh keturunan Lontung dari Samosir, kemudian kuda ini diantarkan ke Limbong yang Upacara penyerahan ini dipimpin oleh marga Situmorang, kemudian di Limbong diadakan upacara memohon turunnya hujan mereka pergi ke Simanggurguri dengan membawa seperangkat Gendang di Simanggurguri Jonggi Manaor Martonggo (berdoa) memohon turunnya Hujan, dan pada saat itu juga pasti datang hujan sehingga semua peserta upacara itu harus basah kuyup di Limbong di Guyur air Hujan.

Hoda Somba (Kuda Persembahan) ini dipotong kemudian dikuliti, semua dagingnya dibagi dan dimakan menurut tata cara hak (Parjambaron)menurut status dan kelompok masing-masing kepada semua peserta upacara. Hoda Somba (Kuda Persembahan).

Kemudian kulit Kuda itu, diantarkan kepada Raja Uti di Barus dan yang mengatarkannya ialah Jonggi Manaor, Raja Sori, Raja Paradum, Manontang Laut dan Raja Paon, mereka berjalan kaki dari negeri Limbong melewati Hutan belantara menuju Barus.

Tetapi ... setelah mereka berjumpa dengan Raja Uti di Barus, kulit Kuda yang mereka bawa dari Limbong itu menjelma menjadi Kuda yang hidup sebagaimana Kuda itu sebelum dipotong.

Pansur Sipitu Dai (Pancuran tujuh rasa) ini juga mempunyai kisah tersendiri dari si Boru Pareme, karena di Pansur Sipitu dai inilah si Raja Lontung bertemu dengan si Boru Pareme, yang kemudian mereka kawin. Hingga sekarang, apabila ada orang yang kesurupan si Boru Pareme, maka orang itu selalu meminta manortor (Menari) di Pansur Sipitu Dai. Siboru Pareme dengan Raja Lontung mempunyai 7 (tujuh) keturunan yaitu : Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar.

Dari anak Lontung yang tujuh orang ini, anak yang paling bungsu yaitu Marga "Siregar", adalah menantu kesayangan bagi marga Limbong. Hal itu dapat dibuktikan kalau pansur Ni Hela salah satu Pancuran dari yang tujuh yang di khususkan untuk tempat mandi semua menantu (yang mengawani putri Limbong), kalau pansur Hela ini rusak, maka hanya marga Siregarlah yang berkewajiban dan berhak untuk memperbaiki Pancuran itu.

Bersambung...

Horas to my huta


DINASTI KERAJAAN BATAK-5



Kepercayaan Asli (Kuno) Suku Batak


Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, dan Kristen ke tanah Batak, orang Batak pada mulanya belum mengenal nama dan istilah ‘dewa-dewa’. Kepercayaan orang Batak dahulu (kuno) adalah kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu, dll yang kalau dianggap keramat dijadikan tempat yang sakral (tempat sembahan). Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka kepada manusia. Penghormatan dan penyembahan dilakukan kepada arwah leluhur akan mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Kuasa-kuasa inilah yang paling ditakuti dalam kehidupan orang Batak di dunia ini dan yang sangat dekat sekali dengan aktifitas manusia.

Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India dan istilah ‘Debata’, sombaon yang paling besar orang Batak (kuno) disebut ‘Ompu Na Bolon’ (Kakek/Nenek Yang Maha Besar). Ompu Nabolon (pada awalnya) bukan salah satu dewa atau tuhan tetapi dia adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan luar biasa dan juga menciptakan adat bagi manusia. Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah luar khususnya agama Hindu; Ompu Nabolon ini dijadikan sebagai dewa yang dipuja orang Batak kuno sebagai nenek/kakek yang memiliki kemampuan luar biasa. Untuk menekankan bahwa ‘Ompu Nabolon’ ini sebagai kakek/nenek yang terdahulu dan yang pertama menciptakan adat bagi manusia, Ompu Nabolon menjadi ‘Mula Jadi Nabolon’ atau ‘Tuan Mula Jadi Nabolon’. Karena kata Tuan, Mula, Jadi berarti yang dihormati, pertama dan yang diciptakan merupakan kata-kata asing yang belum pernah dikenal oleh orang Batak kuno. Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu Nabolon atau Mula Jadi Nabolon adalah salah satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon atau Mula Jadi Nabolon itu kata ‘Debata’ yang berarti dewa (=jamak) sehingga menjadi ‘Debata Mula Jadi Nabolon’.

Jadi jelaslah, istilah debata pada awalnya hanya dipakai untuk penegasan bahwa pribadi yang disembah masuk dalam golongan dewa. Dapat juga dilihat pada tokoh-tokoh kepercayaan Batak lainnya yang dianggap sebagai dewa mendapat penambahan kata ‘Debata’ di depan nama pribadi yang disembah. Misalnya Debata Batara Guru, Debata Soripada, Debata Asi-Asi, Debata Natarida (Tulang atau paman dan orang tua), dll. Tetapi setelah masuknya Kekristenan (yang pada awalnya hanya sebatas strategi pelayanan) kata debata semakin populer karena nama debata dijadikan sebagai nama pribadi Maha Pencipta.

Dari Kata Dewata menjadi Debata

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata atau istilah debata berasal dari bahasa Sansekerta (India) yang mengalami penyesuaian dialek Batak. Karena dalam dialek Batak tidak mengenal huruf c, y, dan w sehingga dewata berubah menjadi debata atau nama Carles dipanggil Sarles, hancit (sakit) dipanggil menjadi hansit.

Dari pengamatan penulis, setiap kata atau istilah Sansekerta yang memiliki huruf w, kalau masuk ke dalam Bahasa Batak akan diganti menjadi huruf b, atau huruf yang lain.
 
Istilah-istilah Sansekerta yang  diserap dalam bahasa Batak:
Istilah Sansekerta (India) ; Batak Toba ; Indonesia
Purwa ; Purba ; Timur
Wajawia ; Manabia ; Barat Laut
Wamsa ; Bangso ; Bangsa
Pratiwi ; Portibi ; Pertiwi
Swara ; Soara ; Suara
Swarga ; Surgo ; Surga
Tiwra ; Simbora ; Perak

Perhatikan huruf cetak tebal.

Dari contoh-contoh di atas, jelaslah bahwa setiap huruf w dalam bahasa Sansekerta (India) kalau dimasukkan ke dalam bahasa Batak akan berganti menjadi huruf b atau huruf lainnya. Wajar saja kalau Dewata dalam bahasa Sansekerta setelah masuk ke dalam bahasa Batak berganti menjadi Debata. Istilah ‘Dewata’ inilah yang membunglon ke dalam bahasa Simalungun menjadi ‘Naibata’ dan di daerah Karo menjadi ‘Dibata’ yang artinya tetap sama menjadi ‘dewa’.



Bersambung...

Horas to my huta

DINASTI KERAJAAN BATAK-4


Arti dan Asal Mula Kata "BATAK"



Sejarahwan Unversitas Negeri Medan (Unimed) Phill Ichwan Azhari menyampaikan hasil penelitiannya di Jerman terkait etimologi (asal-usul kata) dan genealogi (asal-usul garis turunan) Batak. Simpulan Ichwan: Batak bukan berasal dari Batak sendiri, tapi dikonstruksi para musafir barat dan dikukuhkan misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak tahun 1860-an. Benarkah demikian?

Ilmuwan Batak yang juga Guru Besar Departemen Sejarah Unimed Prof Bungaran A Simanjuntak sedikit ‘gerah’ dengan publikasi Ichwan itu. Menurut Bungaran, tak perlu terlalu meyakini arsip-arsip di Jerman. “Belum tentu arsip-arsip di sana merupakan arsip yang valid, perlu dikonfirmasi ulang. Saya rasa kita tidak perlu terlalu menghebat-hebatkan arsip yang ada di sana,” katanya via telepon seluler, Kamis (18/11) lalu.

Bungaran menegaskan, asal-usul nama etnik Batak merupakan hasil dari budaya maupun sejarah di Sumut. “Batak merupakan satu kata dari bahasa Batak sendiri yang artinya penunggang kuda. Dari sisi inilah nama Batak ini muncul. Nama ini sudah sejak lama ada,” katanya.

Menurutnya, etnis Batak merupakan ras Mongolia Mansuria. “Awalnya kurang lebih 5000 tahun lalu, tentara Mongol berperang dengan bangsa Tar-tar, terpojok dan kemudian lari menuju Indonesia Bagian Timur melalui China. Para tentara Mongol ini pada saat itu mengendarai kuda, dan masyarakat di daerah Indonesia Bagian Timur (saat itu belum beretnis Batak) menamai tentara Mongol ini dengan ’Batak.’ Itulah awal nama etnik Batak,” tutur Bungaran.

Bukan Hal Baru

Bagi sebagian orang, hasil penelitian Ichwan itu mungkin mengejutkan. Tapi bagi sebagian lain, ini polemik yang sudah ‘basi’, sebab sudah sejak awal abad ke-20 pengertian dan asal kata Batak dipolemikkan. Sebutan atau perkataan Batak sebagai nama satu etnis di Indonesia, misalnya, sudah dibicarakan dalam beberapa penerbitan surat kabar pada tahun 1900-an. Sejumlah penulis ketika itu sudah berdebat, apa sesungguhnya pengertian kata (nama) Batak dan dari mana asal muasal kata itu?

Di suratkabar Pewarta Deli No. 82 tahun 1919, misalnya, polemik terjadi antara seorang penulis yang memakai nama samaran “Batak na so Tarporso” dengan J Simanjutak. Polemik yang sama terjadi di suratkabar keliling mingguan yang diterbitkan HKBP pada edisi tahun 1919 dan 1920.

Seorang penulis memakai inisial “JS” dalam tulisan pendeknya di suratkabar Immanuel edisi 17 Agustus 1919, akhirnya tampil sebagai penengah di antara silang pendapat yang ada. JS mengutip buku berjudul “Riwayat Poelaoe Soematra” karangan Dja Endar Moeda yang terbit tahun 1903, ada halaman 64 menulis: “Adapoen bangsa yang mendoedoeki residentie Tapanoeli itoe, ialah bangsa Batak namanya. Adapoen kata “Batak” itoe pengertiannya : oerang pandai berkuda. Masih ada kata Batak yang terpakai, jaitoe “mamatak”, yang artinya menaiki koeda. Kemoedian hari orang perboeatlah kata itoe djadi kata pemaki (plesetan) kepada bangsa itoe…

Berdasarkan sejumlah referensi, umumnya kata Batak menyiratkan defenisi tentang keberanian atau keperkasaan. Menurut Ambrosius Hutabarat dalam catatannya di suratkabar Bintang Batak tahun 1938, pengertian Batak adalah orang yang mahir menaiki kuda, memberi gambaran pula bahwa suku itu dikenal sebagai suku yang berjiwa keras, berani, perkasa. Kuda merupakan perlambang kejantanan, keberanian di medan perang, atau kegagahan menghadapi bahaya/rintangan.

Bahkan, salah seorang pemikir Batak ketika itu, Drs. DJ. Gultom Raja Marpodang menulis teori bahwa suku Batak adalah sai-Batak Hoda yang artinya suku pemacu kuda. Asal-usul suku Batak berdasarkan teori adalah pendatang dari Hindia Belanda (sekitar Asia Tenggara sekarang), masuk ke pulau Sumatera pada masa perpindahan bangsa-bangsa di Asia.

Drs DJ Gultom bahkan bersusah payah melakukan serangkaian penyelidikan intensif seputar arti kata Batak dengan membaca sejarah, legenda, mitologi, termasuk wawancara dengan orang-orang tua, budayawan dan tokoh adat. Beberapa perkataan “batak” antara lain ditemukan dalam hampir seluruh bahasa sub etnis Batak mulai Pak-pak, Karo, Simalungun, Mandailing dan Toba, yang pada umumnya bermakna heroik, tidak negatif. Berbagai penjelasan itu disampaikan untuk meluruskan anggapan seolah-olah ‘Batak’ adalah suatu aliran/kepercayaan tentang suatu agama yang dikembangkan pihak tertentu mendiskreditkan citra orang Batak ketika itu.

Namun dalam pemeriksaan Ichwan terhadap arsip-arsip di Jerman, penelusuran data di KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde atau the Royal Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) di Belanda, sama sekali tidak ada penjelasan tentang defenisi Batak sebagai penunggang kuda, yang kemudian diplesetkan sehingga menjadi sangat peyoratif terhadap identitas kebatakan.

Pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik, memang ditemukan kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia, tetapi sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka. Tidak hanya di Malaysia, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan streotip atau label negatif sebagai Batak. Tak mengherankan peneliti Batak asal Belanda bernama Van der Tuuk, pernah risau dan mengingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan Batak untuk nama etnik karena imej negatif pada kata itu.

“Di Malaysia dan Filipina penduduk yang diberi label Batak tidak mau menggunakan label merendahkan itu menjadi nama etnik mereka. Di Sumatera Utara label itu terus dipakai karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu,” katanya.

Dalam peta-peta kuno itu, baik peta bata lander yang dibuat peneliti Jerman Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, maupun peta-peta lain sebelum dan setelah peta Junghuhn dibuat. kata bata lander hanya digunakan sebagai judul peta tapi di dalamnya hanya nampak lebih besar dari judulnya nama-nama seperti Toba, Silindung, Rajah, Pac Pac, Karo, dan tidak ada nama batak sama sekali. Dalam salah satu peta kata Batak di dalam peta digunakan sebagai pembatas kawasan Aceh dengan Minangkabau.

Bermula dari Daniel Perret

Menurut salah seorang pengamat Kebatakan, Thompson Hs, penelitian Ichwan Azhari itu terkait dengan isu tentang Batak yang dilontarkan Daniel Perret dalam bukunya berjudul Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut. Buku tersebut sudah diseminarkan oleh PUSSIS pimpinan Ichwan Azhari sendiri.
Dalam buku Daniel Perret, semua istilah Batak dicatat dalam tanda petik dan identifikasi “batak” dalam setting kolonial waktu itu merupakan bagian dari dikotomi antara melayu yang dianggap beradab melalui kesultanan dan keislamannya dan posisi orang-orang “batak” yang belum menganut Islam yang dianggap stereotip dari orang-orang yang tidak beradab.

“Peta dikotomi ini saya kira yang ingin diungkapkan kembali oleh Ichwan Azhari tanpa mengungkap posisi Melayu di Sumatera Utara. Kita tunggu saja sambungan penelitiannya,” ujar Thompson.

Menurut Thompson, hasil penelitian Ichwan itu juga terkait dengan kepentingan isu Batak yang diperdebatkan lagi oleh sebagian orang Karo belakangan ini. Dalam sebuah diskusi di Padangbulan baru-baru ini, identitas Karo dalam kaitannya dengan Batak, kembali digugat. Gugatan muncul dari seorang antroplog Karo, Juara Ginting. Juara mempertanyakan kembali latarbelakang kata Batak disematkan pada suku Karo. Menurut Juara, tak ada kaitan antara Batak dengan Karo. Juara tak setuju jika Karo dianggap Batak, sebab Karo punya standar adat-istiadat yang mandiri. Kalaupun ada kemiripan tidak bisa langsung diklaim, harus dilihat dari banyak sisi.

“Tentu saja orang Karo tidak harus menjadi Batak. Itulah mungkin dasar lain di samping argumen Juara Rimanta Ginting yang mengambil catatan-catatan lama secara umum. Lalu orang Toba sendiri juga bisa juga menganggap dirinya bukan orang Batak. Mamun masalahnya bukan di situ,” kata Thompson.

Masyarakat Mandailing juga menolak disebut Batak. Sebab Mandailing sudah diketahui sejak abad ke-14, menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing. Nama Mandailing tercatat dalam kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M.

Tapi ‘Batak’ sama sekali tidak disebut dalam kitab tersebut. Nama Batak itu sendiri tidak diketahui asal-usulnya. Ada yang berpendapat istilah Batak itu digunakan oleh orang pesisir seperti orang Melayu untuk memanggil orang di pedalaman Sumatra, Batak, sepertimana orang Melayu memanggil ‘orang asli’, Sakai dan Jakun.

Saat Belanda menguasai kesultanan-kesultanan Melayu, mereka bukan saja memasukkan kesultanan-kesultanan tersebut ke dalam sistem kolonial, tapi juga mengambil-alih pemisahan Batak-Melayu. Belandalah yang kemudian membatakkan bangsa/umat Mandailing dalam persepsi, tanggapan, tulisan-tulisan, dan sensus administratif Belanda.
Kembali ke hasil penelitian Ichwan. Menurutnya, konsep Batak dari misionaris Jerman semula digunakan kelompok masyarakat di kawasan Tapanuli Utara, tapi lebih lanjut dipakai Belanda menguatkan cengekraman ideologi kolonial.

Perlahan-lahan konsep Batak itu meluas dipakai Belanda termasuk sebagai pernyataan identitas oleh penduduk di luar daerah Toba. Peneliti Belanda kemudian merumuskan konsep sub suku batak dalam antropologi kolonial yang membagi etnik Batak dalam beberapa sub suku seperti sub suku Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun serta Batak Pak Pak.



Bersambung...

Horas to my huta


DINASTI KERAJAAN BATAK-3


Perjalanan Sejarah Sisingamangaraja


Raja Si Singamangaraja I : Raja Manghuntal

Raja Si Singamangaraja I adalah anak dari Raja Bonanionan Sinambela, yaitu putra ke tiga atau bungsu.  Raja Bonanionan menikah dengan boru Pasaribu. Walaupun mereka sudah lama menikah, tetapi mereka belum mempunyai turunan. Karena itu boru Pasaribu pergi ke “Tombak Sulu-sulu” untuk "marpangir"(keramas dengan jeruk purut). Setiap kali selesai marpangir, boru Pasaribu berdoa kepada “Ompunta” yang di atas, mohon belas kasihan agar dikaruniai keturunan. Pada suatu hari , datanglah cahaya terbang ke Tombak Sulu-sulu dan hinggap di tempat ketinggian yang dihormati di tempat itu. Yang datang itu memperkenalkan diri, rupanya seperti kilat bercahaya-cahaya dan yang datang itu adalah Ompunta Batara Guru Doli. Ompunta Tuan Batara Guru Doli berkata bahwa boru Pasaribu akan melahirkan anak. Katanya: “Percayalah bahwa engkau akan melahirkan seorang anak dan beri namanya Singamangaraja”. Kalau anakmu itu sudah dewasa, suruh dia mengambil tanda-tanda kerajaan dari Raja Uti, berupa:

1. Piso gaja Dompak
2. Pungga Haomasan
3. Lage Haomasan
4. Hujur Siringis
5. Podang Halasan
6. Tabu-tabu Sitarapullang

Tidak lama kemudian boru Pasaribupun mulai mengandung. Setelah mengandung selama 19 bulan boru Pasaribu melahirkan seorang putera. Sang Putra ini lahir dengan gigi yang telah tumbuh dan lidah yang berbulu. Semasa remajanya Singamangaraja banyak berbuat atau bertingkah yang ganjil terutama pada orang yang tidak pemaaf, yang ingkar janji, melupakan kawan sekampung yang lemah, membebaskan mereka yang tarbeang kalah berjudi. Si Singamangarajapun pernah menunjukkan keheranan orang-orang yang berpesta dimana gondangnya tidak berbunyi dan tanaman padi dan jagung akarnya berbalik keatas mengikuti Si Singamangaraja saat jungkir balik dihariara parjuragatan. Hal ini terjadi karena mereka itu melupakannya.

Setelah Singamangaraja dewasa maka ibunya boru Pasaribu menyampaikan pesan dari Ompunta Batara Guru Doli bahwa Singamangaraja harus mengambil tanda-tanda kerajaan dari Raja Uti. Dia tidak tahu di mana kampung keramat Raja Uti demikian juga ibunya. Dia berangkat dengan berbekal doa yang menunjukkan dan menuntun langkahnya ke tempat keramat tersebut.

Dalam perjalanan banyak hambatan demikian juga setiba di keramat kampung Raja Uti yang ternyata ada di daerah Barus. Di sana juga dia dicoba tetapi semua bisa diatasi dengan baik. Sisingamangaraja bertemu dengan Raja Uti dan mereka makan bersama dan katanya: “Sudah benar ini adalah Raja dari orang Batak”. Setelah selesai makan merekapun menanyakan silsilah (martarombo) dan Si Singamangarajapun menyampaikan maksudnya dan disamping itu Sisingamangaraja meminta beberapa ekor gajah. Atas maksud Si Singamangaraja itu, Raja uti mengatakan akan memberikannya seperti pesan yang disampaikan Ompunta itu dengan syarat Si Singamangaraja harus dapat menyerahkan daun lalang selebar daun pisang, burung puyuh berekor dan tali yang terbuat dari pasir. Syarat-syarat yang diminta Raja Uti untuk mendapat tanda-tanda harajaon itu dapat dipenuhi semua oleh Singamangaraja. Sedang mengenai permintaan akan gajah itu, Raja Uti memberikannya asal Si Singamangaraja bisa menangkap sendiri. Si Singamangarajapun memanggil gajah itu maka heranlah Raja Uti melihatnya. Dan setelah itu dibawanya tanda-tanda harajaon itu pulang ke Bakara termasuk gajah itu. Dengan tanda-tanda harajaon itu, jadilah dia menjadi Raja Singamangaraja, singa mangalompoi, Singa naso halompoan.

Raja Sisingamangaraja I sampai Raja Si Singamangaraja IX tidak diketahui kapan wafatnya dan dimana makamnya. Raja-raja ini setelah mempunyai keturunan dan merasa sudah ada penggantinya pergi merantau dan Piso Gaja Dompak tidak dibawanya. Mereka dipastikan telah wafat adalah melalui tanda-tanda alam yaitu ada cabang dari Hariara Namarmutiha yang patah. Kalau ada cabang Hariara ini yang patah berarti ada anggota keluarga yang meninggal dan kalau cabang utama yang patah berarti Raja Si Singamangaraja telah tiada. Hariara Namarmutiha ini dikenal juga sebagai Hariara Tanda dan sampai sekarang masih tumbuh di Bakara.

Biasanya keadaan ini diikuti dengan cuaca musim kemarau, sehingga masyarakat mengharapkan turunnya hujan melalui tonggo-tonggo Raja Sisingamangaraja. Si Onom Ompu (Bakara, Sinambela, Sihite, Simanullang, Marbun dan Simamora) dari Bakara mempersiapkan upacara margondang lalu meminta kesediaan putera Raja Si Singamangaraja untuk mereka gondangi.
 
Dengan memakai pakaian ulos batak Jogia Sopipot dan mengangkat pinggan pasu berisi beras sakti beralaskan ulos Sande Huliman sebagai syarat-syarat martonggo, putera raja inipun dipersilahkan memulai acara. Iapun meminta gondang dan menyampaikan tonggo-tonggo (berdoa) kepada Ompunta yang di atas untuk meminta turunnya hujan, kemudian manortorlah putera raja ini. Pada saat manortor itu langitpun mendung dan akhirnya turun hujan lebat dan masyarakat Si Onom Ompupun menyambutnya dengan kata HORAS HORAS HORAS. Kemudian piso Gaja Dompak pun diserahkan kepadanya dan dicabut/dihunusnya dengan sempurna dari sarangnya serta diangkatnya ke atas sambil manortor. Siapa di antara putera raja itu yang bisa melakukan hal-hal di atas dialah yang menjadi Raja Si Singamangaraja yang berikutnya, jadi tidak harus putera tertua.
 
Secara berturut-turut yang menjadi Raja Si Singamangaraja berikutnya dan perkiraan tahun pemerintahannya adalah Sebagai berikut:
Ø Singamangaraja II, Ompu Raja Tinaruan
Ø Singamangaraja III, Raja Itubungna
Ø Singamangaraja IV, Tuan Sorimangaraja
Ø Singamangaraja V, Raja Pallongos
Ø Singamangaraja VI, Raja Pangolbuk
Ø Singamangaraja VII, Ompu Tuan Lumbut
Ø Singamangaraja VIII, Ompu Sotaronggal
Ø Singamangaraja IX, Ompu Sohalompoan
Ø Singamangaraja X, Ompu Tuan Na Bolon
Ø Singamangaraja XI, Ompu Sohahuaon
Ø Singamangaraja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu

 
Raja Si Singamangaraja X : Ompu Tuan Nabolon

Raja Si Singamangaraja X Ompu Tuan Nabolon mangkat karena dipenggal oleh Si Pokki Nangolngolan atau Tuanku Rao, yang dengan akal liciknya mengundang Raja Si Singamangaraja X untuk datang ke Butar. Pada pertemuan di Butar itulah si Pokki memenggal leher Raja Sisingamangaraja X. Kepala Raja ini terbang menghilang, terbang ke pangkuan ibundanya boru Situmorang. Oleh ibunya, secara diam-diam dikuburkannya di dalam batu besar yang ada di Lumban Raja, karena sebelumnya ia sudah berfirasat akan kejadian yang akan menimpa anaknya.

Adapun badan Raja Si Singamangaraja X yang terkapar di bukit parhorboan, tertimbun tanah karena tiba-tiba bukit itu runtuh. Raja si Onom Ompu dengan pengikut-pengikut yang mendampingi Raja Si Singamangaraja X pun melawan dan sebagian teman si Pokki itu mangkat. Tetapi karena pasukan si Pokki yang tadinya bersembunyi datang membantu si Pokki dan si Pokki menjadi lebih kuat, melarikan dirilah mereka ke Gunung Imun. Si Pokki terus menyerang Bakara dan banyak yang ditewaskannya baik yang dewasa maupun anak kecil.

Menurut pengakuan Pokki Nangolngolan (Tuanku Rao), dia adalah anak dari saudara perempuan Raja Sisingamangaraja X yang pergi ke Bonjol. Pokki Nangolngolan mengatakan bahwa dia sudah rindu pada tulangnya dan dia akan memberinya makan (manulangi) dan akan memberikan piso-piso (uang) sebagai persembahan. Karena kata-kata manis dari si Pokki inilah maka Raja Sisingamangaraja X pergi ke butar. Walaupun pada awalnya Ia mengatakan kenapa si Pokki tidak mendatanginya ke Bakara.
Karena tidak mendapatkan jenazah Raja Si Singamangaraja X, Tuanku Rao melanjutkan penyerangan ke Bakara. Banyak penduduk yang dibunuh. Pasukannya membumihanguskan seluruh daerah yang dilaluinya dari Butar ke Bakara termasuk istana Lumban Pande di Bakara.

Isteri Raja Si Singamangaraja X yang pertama yaitu boru Situmorang dengan 2 orang anaknya yang masih kecil melarikan diri ke Lintong Harian Boho ke kampung orangtuanya Situmorang. Sedang isterinya yang kedua bermarga boru Nainggolan beserta anaknya Raja Mangalambung diculik si Pokki bersama anak-anak yang lain yang diduganya sebagai anak Raja Si Singamangaraja X. Mereka dibawa ke arah tenggara dalam perjalanan kembali ke Bonjol. Dalam perjalanannya di daerah Tapanuli Selatan sedang terjadi wabah penyakit menular (begu antuk) yang juga mengenai/menyerang pasukan Tuanku Rao sehingga kacau balau. Tawanannya tercecer di Tapanuli Selatan. Sebagian dari yang tercecer ini membuat perkampungan di daerah di Tapanuli Selatan ini.

Raja Si Singamangaraja XI : Ompu Sohahuaon

Belum lagi selesai penderitaan akibat serangan si Pokki terjadi pula musim kemarau yang berkepanjangan. Masyarakat Si Onom Ompu bersepakat menyampaikan hal ini kepada boru Situmorang dan memintanya kembali ke Bakara. Setelah boru Situmorang membawa kedua anaknya kembali, masyarakatpun meminta agar Ompu Sohahuaon mereka gondangi untuk turunnya hujan.

Acara margondangpun dipersiapkan dengan baik dan Ompu Sohahuaon yang masih kecil tampil dengan berpakaian ulos Batak. Boru Situmorang dan masyarakat si Onom Ompu kaget dan kagum, karena Ompu Sohahuaon yang masih kecil itu mampu meminta gondang dan mengucapkan tonggo-tonggo untuk turunya hujan. Merekapun mengelu-elukan dengan manortor. Haripun menjadi gelap karena mendung dan hujanpun turun dengan lebat. Ompu Sohahuaon terus manortor sampai berakhir gondang yang dipintanya. Kemudian diserahkan Piso Gaja Dompak kepadanya dan manortor kembali sambil menghunus Piso Gaja Dompak dengan sempurna dan disarungkan kembali. Ompu Sohahuaon dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja XI dalam usia 10 tahun.

Pada masa pemerintahan Raja Si Singamangaraja XI disusunlah  “Pustaha Harajaon (pustaka kerajaan)”  yang ditulis dengan dawat/tinta cina diatas kertas Watermark ukuran folio buatan Itali dalam tulisan dan bahasa Batak. Pustaka ini dibuat atas bimbingan dari Ompu Sohahuaon sendiri. Pustaha harajaon ini terdiri atas 24 jilid, setiap jilidnya tebalnya sekitar 5 Cm yang isinya secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :
  • Jilid 1 s/d 3: Pemerintahan Tuan Sorimangaraja selama 90 turunan mulai dari Putri Tapi Donda Nauasan.
  • Jilid 4 s/d 7: Pemerintahan kerajaan Singamangaraja  I s/d  IX.
  • Jilid 8: Perihal Pedang Padri Tuanku Rao terhadap Tuan Nabolon Sisingamangaraja X.
  • Jilid 9: Perihal Pongkinangolngolan dan Datu Aman Tagor Simanullang.
  • Jilid 11 s/d 12: Perihal Pendeta Pilgram, pembunuhan atas diri Pendeta Lyman dan Munson oleh Raja Panggalamei.
  • Jilid 13-16: Periode pembangunan kembali ibu kota kerajaan Bakara dan daerah-daerah Toba tahun 1835-1845 atas pembumi hangusan perang bonjol.
  • Jilid 17: Perihal Dr. Junghun, van der Tuuk yang datang menjumpai Sisingamangaraja XI dan perihal photonya.
  • Jilid 18 s/d 24: Penobatan Ompu Sohahuaon menjadi Sisingamangaraja XI, pemerintahannya sampai tahun 1886 dan perihal penyakit menular yang dahsyat di tanah Batak.

Pada tahun 1884 Pustaha Harajaon ini ditemukan dari tumpukan rumah kerajaan yang dibakar oleh tentera Belanda. Dibawa ke Holland oleh Pendeta Pilgrams dan sekarang ada di Museum Perpustakaan Pemerintah Belanda di Leiden Holland. Pustaha Harajaon tidak diteruskan penulisannya oleh Sisingamangaraja XII sebab tidak ada kesempatan, karena semenjak awal pemerintahannya, Koloni Belanda telah melancarkan agresinya di tanah Batak dan sekitarnya, sehingga Ompu Pulobatu berperang selama 30 tahun sampai tewasnya dalam usia 59 tahun pada 17 juni 1907.

Raja Si Singamangaraja XI Ompu Sohahuaon menikah dengan boru Aritonang sebagai isteri pertama yang melahirkan Raja Parlopuk . Isteri kedua adalah boru Situmorang yang melahirkan Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu. Beda umur Raja Parlopuk dengan Patuan Bosar sangat jauh, ada sekitar 15 tahun.
Ketika Ompu Sohahuaon jatuh sakit, maka jalan pemerintahan dilaksanakan oleh Raja Parlopuk. Cukup lama Raja Parlopuk memegang tugas itu dan dilaksanakannya dengan baik. Tahun 1866 Ompu Sohahuaoan meninggal di Bakara dan dibangun makamnya oleh Raja Parlopuk dengan Si Onom Ompu di Lumban Raja. Makam inilah yang pertama ada di Bakara karena Sisingamangaraja I hingga  IX tidak diketahui meninggal di mana. Waktu Raja Si Singamangaraja XI meninggal, Patuan Bosar sedang merantau ke Aceh.

Makam ini dibongkar oleh Raja Si Singamangaraja XII karena Bakara diserang Belanda. Tulang belulang Raja Si Singamangaraja XI dibawanya ikut berjuang ke hutan, karena tidak ingin tengkorak orang-tuanya diambil oleh Belanda. Semasa perjuangan tulang-belulang ini di titipkan di huta Janji Dolok Sanggul lalu dipindahkan lagi ke Huta Paung. Setelah zaman kemerdekaan, kembali di pindahkan di rumah Soposurung.

Kira-kira 105 tahun kemudian, makam ini dibangun kembali oleh keluarga Raja Sisingamangaraja dan pada tahun 1975 tulang belulang Raja Sisingamangaraja XI dan istrerinya dimakamkan kembali ke makam semula di Bakara. Raja Parlopuk terus melaksanakan pemerintahan Singamangaraja hingga tahun 1871, yaitu setelah dinobatkannya Patuan Bosar sebagai Raja Sisingamangaraja XII.

Raja Si Singamangaraja XII : Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu

Walaupun Raja Si Singamangaraja XI telah meninggal, Si Onom Ompu tidak merasa ada yang kurang dalam pemerintahan, karena Raja Parlopuk bekerja dengan cukup baik. Tetapi ketika musim kemarau datang dan membawa penderitaan, mulailah si Onom Ompu berfikir untuk adanya acara margondang. Raja Parlopukpun mereka persilahkan untuk mereka gondangi agar dia martonggo memohon turun hujan. Tetapi hujan tidak turun-turun juga.

Mulanya Ompu Pulo Batu tidak bersedia mereka gondangi karena merasa bahwa abangnya itu telah sebagai raja pengganti ayahnya. Akhirnya Ompu Pulo Batu bersedia karena melihat penderitaan yang diderita masyarakat Si Onom Ompu. Setelah melaksanakan upacara seperti yang biasa dilakukan, Ompu Pulobatu berhasil mendatangkan hujan. Ompu Pulo Batupun dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja XII pada tahun 1871.

Ompu Pulo Batu lahir tahun 1848 dari ibunya boru Situmorang. Pada saat pemuda, Ompu Pulo Batu merantau ke Aceh, disana bergaul dengan pedagang dari Persia dan belajar banyak hal. Karena itu ketika perang melawan Belanda, Raja Si Singamangaraja XII dibantu oleh pejuang-pejuang dari Aceh, dan dalam cap/stempelnya dipakai Bahasa Arab dan Bahasa Batak.

Pada tahun 1877 Raja Si Singamangaraja XII menyatakan perang kepada Belanda. Kemudian dia menjalankan perang terhadap Belanda selama 3 dasawarsa.

Catatan :
Tulisan ini diambil dari catatan keluarga Raja Sisingamangaraja dalam rangka peringatan 100 tahun perjuangan Raja Sisingamangaraja XII

Bersambung...