on Senin, 18 Maret 2013

Horas to my huta

"Pemerintah Daerah Punya Hutang Politik Terhadap Masyarakat Adat" PDF Print E-mail
 ymp 16/7/2008
(Dalam Rangka Peringatan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat, 17 Februari 2008)
Pemerintah daerah di Sulawesi Tengah baik pada level propinsi maupun Kabupaten/kota, punya hutang politik yang belum terbayarkan kepada kelompok masyarakat adat. Hutang politik tersebut adalah berupa komitmen kepemerintahan untuk memberikan pengakuan (rekognisi) politik kepada masyarakat adat. Hutang politik tersebut akan terus menerus tidak terbayar, selama belum adanya satupun pengakuan politik dari jajaran pemerintah daerah terhadap keberadaan masyarakat adat (indigenous people/native people).
Masyarakat adat di wilayah ini dapat menuntut hutang politik itu, sebab ada kelalaian tanggungjawab pemerintah (responsible party) yang tidak melaksanakan komitmen normatif dari undang-undang yang mengatur soal pengakuan tersebut. Bahkan, terjadi kesengajaan kelalaian pematuhan konstitusi dasar RI pada UUD 1945 yang juga mengatur soal pengakuan terhadap masyarakat adat. Propinsi Sulawesi Tengah, termasuk wilayah di Indonesia yang melalaikan tanggungjawab pemerintah itu. Hal tersebut bisa dilihat dari riwayat masa lalu Pemprov Sulteng yang pernah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Gubernur tahun 1992, tentang pencabutan hak tanah ulayat. Semasa pemerinatahan Gubernur Azis Lamadjido.
       Jika dibandingkan dengan daerah lain, misalnya Sulawesi Selatan, daerah itu lebih maju dalam membangun relasi dengan masyarakat adatnya. Mereka mendorong lahirnya Perda tentang Pemerintahan Lembang di Tana Toraja, dan SK Bupati tentang Pengakuan masyarakat Adat Seko di Luwu Utara. Serta Perda tentang Pengakuan Komunitas To Kajang di Bulukumba. Tapi di Sulawesi Tengah, belum ada. Padahal, wilayah Sulteng termasuk daerah di Indonesia yang memiliki jumlah kelompok masyarakat adat yang cukup besar setelah Papua dan NTT. Bahkan, ada kecenderungan pemerintah daerah di level kabupaten di propinsi ini lebih senang mengobral janji. Banyak Pemkab yang bilang " kami mengakui masyarakat adat". Tapi implementasi di lapangan tidak ada yang kelihatan. Belum satupun Pemkab di Sulteng yang punya konsep pengakuan itu terakomodir dalam satu instrumen kebijakannya. Misalnya Perda Kabupaten dan SK Bupati.
       Mudah-mudahan, komitmen pemerintah propinsi Sulteng yang berjanji untuk mendorong terus pembahasan Ranperda Tau Taa Wana di DPRD saat ini, menjadi bukti bahwa paradigma lama itu telah berubah. Karena itu, melalui pembahasan Ranperda Tau Taa Wana yang didorong oleh pihak eksekutif, akan menjadi batu ujian bagi komitmen eksekutif dan legislatif di level propinsi, dalam pengakuan masyarakat adat di wilayah ini.
       Karena itu, menjelang peringatan hari kebangkitan masyarakat adat di Indonesia tanggal 17 Februari ini, kami mendesak baik Pemprov, maupun Pemkab/Pemkot di daerah ini mau membayar hutang politiknya terhadap
masyarakat adat. Pengakuan itu harus nyata, paling tidak dalam bentuk kebijakan daerah. Karena relasi negara dan masyarakat adat harus dikonstruksikan ke dalam relasi yang adil dan bermartabat, antara negara
sebagai entitas politik untuk tujuan kebaikan bersama, dan masyarakat adat sebagai entitas kewargaan (citizenship).
       Demikianlah Siaran Pers ini kami buat. Untuk segera disiarkan.

Palu, 15 Februari 2008.

*Azmi Sirajuddin AR*
   *Koord.Advokasi dan Jejaring-YMP
http://www.ymp.or.id/esilo/content/view/208/9/

on Sabtu, 16 Maret 2013

Horas to my huta

Mangulosi menjadi Mangampolopi

Sebenarnya pentingkah kita lestarikan adat batak itu?. Adat batak mana yang perlu dilestarikan, dijaga dan dilaksanakan dengan sebaiknya?. Terlalu berani mungkin, bila saya mengatakan sudah terjadi pergeseran pelaksanaan adat batak saat ini. Bila ada yang bilang, eme namasak digagat ursa, ia i namasa ima ta ula. Saya harus katakan, itu Ursa/Rusa bodoh yang mau memakan padi yang sudah masak. Ada ucapan keputusasaan yang terkandung di dalamnya. Bila memang penting kita masih bisa dan mau menyelamatkan adat batak itu, maka perumpamaan itu harus dibuang jauh-jauh.

Perumpaan kedua yang lazim saya dengar, Ompunta sijolo tubu, martungkot sialagundi, napinungka ni parjolo siihuthonon ni naparpudi, kini dipelesetkan (sengaja?) menjadi sipadimposdimposon, sipadenggan-dengganon ni naparpudi. Kalimat sipadenggan-dengganon ni parpudi ini mengandung makna jamak. Hemat saya, tak ada kata sepakat yang sama-sama diterima semua orang batak yang menyatakan inilah adat yang benar. Karena tidak ada, maka semua saling melaksanakan semua ritual adat batak sesuka hatinya, sesuai selera dan sesuai kondisi keuanganya. Dengan tujuan padengganhon adat na parjolo itu. Seolah, adat batak yang diwariskan leluhur kita itu belum seutuhnya benar, sehingga harus kita benarkan lagi.
Saya menamainya dengan Adat Batak Anggaran Dasar. Pelaksanaan adat batak berdasarkan yang sudah dituliskan di Anggaran Dasar suatu punguan marga. Hematku, bahwa dalam pranata sosial masyarakat batak, tidak dikenal dengan adat marga, adat punguan. Dari jaman dulu, orang batak hanya mengenal yang namanya Adat ni Luat, Adat ni Bius. Kita sering mendengar Adat di Toba, Adat di Humbang, Adat di Rambe, Adat di Samosir. Sekarang ini, setiap marga menjalankan ritual adat batak sesuai dengan kesepakatan pengurus punguan suatu marga. Siapa yang pintar bikin Anggaran Dasar, dan pintar beretorika, maka adat merekalah diikuti.

Padahal, ketika menyusun Anggaran Dasar ini, para pengurus punguan itu dalam keadaan konsdisi setengah mabuk. Anggaran Dasar yang hendak dijadikan patokan pelaksanaan adat itu disusun di Lapo yang kebetulan ada fasilitas ruangan meeting, layar proyektor, dan lain-lain. Lalu, sembari minum bir, dirancanglah tatacara pelaksanaan adat marga mereka. Disepakatilah, hanya sekian ulos untuk diuloshon parboru, tidak boleh lebih. Ulos herbang hanya diberikan keluarga inti, selain itu diampolophon. Besarnya pinggan panungkunan sekian. Begini, begono, begono begini, dan banyak lagi. Lalu diketik rapi pakai komputer, dibagikan pada semua anggota punguan, ditandatangani ketua, sekretaris, penasehat punguan, itulah, buku Anggaran Dasar. Semua pelaksanaan adat harus didasarkan pada buku itu, selain itu salah!.
Hakekatnya, adat berlangsung karena ada holong, kasih, saling mengalah, masipaolo-oloan tanpa ada kata ingkon.
Apa sih makna mangulosi dalam adat batak?. Apakah semata dinilai hanya dengan mengkonversi sehelai ulos dengan mata uang rupiah?. Miris mendengar bila seorang berkomentar bahwa ulos yang diterima di pesta pernikahan, sehari sesudah pesta itu, ulos yang diberikan para sisolhot, horong ni tulang, hula-hula, langsung di jual di Pasar Senen. Bila demikian, maka benarlah apa yang saya amati sekarang ini, bahwa banyak terjadi di pernikahan marunjuk, natoras ni boru bisa meminta supaya borunya tidak di ulosi lagi. Tapi sebagai gantinya, maka di-uangkan saja.
"Diampolopi"

Contoh tren yang sudah mulai dilakukan. Hanya keluarga yang sangat dekat, natoras, iboto, bapauda/tua kandung yang mangulosi, selebihnya diuangkan saja. Bahkan sudah berani meminta ke hula-hulanya dan tulang ni na muli, hanya ulos dari tulanglah yang diuloshon, selain itu diampolopi saja.
Beberapa kali saya menghadiri kejadian yang serupa. Padahal, nama saya sebagai yang turut mengundang ada di lembaran kertas undangan itu, yang artinya saya seharusnya mangulosi. Kejadian lain, nama punguan yang saya ikuti pun ada di kertas undangan yang pengundangnya lebih dari limapuluh keluarga, yang artinya juga adalah sisada ulaon sisada boru. Ketika saya sudah menyiapkan ulos, untuk diberikan kepada iboto/boru itu, maka ada bisik-bisik, permintaan natoras ni boru diuangkan saja. Kedepan, saya tak mau lagi menghadiri acara pamuli boru, pangoli bere, cukup titip ampolop, atau minta nomor rekening, lalu saya transfer. Saya tak melihat adanya kerinduan supaya mempelai, kelurga baru itu diberkati melalui doa-doa yang dipanjatkan dengan perantaraan ulos. Padahal, nilai sehelai ulos yang berikan tidak bisa dinilai dari rupiah.  Berpikir, hanya uang yang lebih penting bagi pengantin baru itu daripada sehelai ulos yang diberikan dengan tulus iklas.

Mungkin, besok atau satu hari nanti, doa hula-hula atau tulang tidak penting lagi. Hepenghon ma ito, tulang, ima singkat ni tangiang muna. Uangkan saja tulang, itulah pengganti doa kalian.
Selidik punya selidik, di marga lain pun demikian. Sudah berjemaah menguangkan ulos. Orang tua memberikan contoh yang sangat salah tentang pemahaman budaya batak khususnya mangulosi. Seyogianya, adalah kebanggan tersendiri bila banyak orang yang rela menghabiskan waktunya menunggu saat mangulosi borunya, memberikan untaian doa-doa melalui perantaraan ulos itu. Seharusnyalah merasa bersyukur bila semua hula-hula berbondong mangulosi pengantin.

Kaum muda hanya mengikuti yang sudah ada. Kelak, di pernikahan orang tak ada mangulosi lagi, makan, poco-poco sebentar, menyalam penganting dengan ampolop yang sudah disiapkan, lalu pulang.  Akan sama makna mangulosi dengan mangampolopi, mangulosi sama dengan memberikan ulos, dan manghepengi sama dengan memberikan ampolop.

Ai aha do dohonon  hata hasasahat ni ampolop on?. Molo hata ni ulos, ulos sitorop rambu, ulos na hapal, ulos na marsimata…molo ampolop?

Nienet sian: sian angka namarragam.